Selamat datang di Weblog tentang perpajakan

Weblog ini adalah web yang berisi ulasan tentang perpajakan yang diharapkan bisa menjadi ajang diskusi, sharing dan bermanfaat bagi pengunjungnya..... selamat browsing dan semoga memberi inspirasi......

Tuesday, March 22, 2011

Transfer Pricing

Advance Pricing Agreement (APA)

Kesepakatan Harga Transfer (APA) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Wajib Pajak dan / atau otoritas pajak negera lain yang menyepakati kriteria-kiriteria dan / atau menyepakati harga wajar atau laba wajar dimuka para pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Diantara kriteria dalam APA adalah metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (criticals assumptions).
Tujuan APA adalah memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan masalah transfer pricing. Kesepakatan ini dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak. Atau bisa juga perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak negera lain. Konon kabarnyanya, APA ini jurus ampuh bagi wajib pajak dan otoritas pajak untuk menyelesaikan masalah transfer pricing.
Penyelesaian transfer pricing bisa dilakukan dimuka atau melalui post audit. Transfer pricing yang sudah disepakati melalui mekanisme APA akan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Pada saat post audit, tentu nantinya pemeriksa pajak tunduk dan mengikuti harga-harga yang sudah disepakati. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-69/PJ/2010 bahwa APA mengikat Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak.
Naskah APA sekurang-kurangnya memuat :
[1]. Nama, NPWP, dan alamat perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak terkait dengan APA;
[2]. ruang lingkup transaksi yang dicakup;
[3]. tahun pajak yang dicakup;
[4]. ketentuan umum yang digunakan dalam APA;
[5]. metode transfer pricing yang disepakati;
[6]. faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions)penerapan APA;
[7]. harga wajar atau laba wajar, rentang harga wajar atau rentang laba wajar untuk setiap jenis barang / jasa atau transaksi yang dicakup;
[8]. kewajiban dalam penerapan APA dan kewajiban pelaporan;
[9]. konsekuensi hukum;
[10]. kerahasiaan informasi;
[11]. peninjauan kembali dan pembatasan; dan
[12]. mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan;
Untuk mendapatkan APA, Wajib Pajak harus melakukan tiga tahapan, yaitu :
[a]. pembicaraan awal;
[b]. penyampaian permohonan formal; dan
[c]. penandatanganan naskah APA;

Mendapatkan NPWP

Pasal 2 ayat (1) UU KUP, “
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
.”
Penjelasan dari pasal tersebut, diantaranya, “Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. .”
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Karena RUU PPh sampai dengan hari ini belum selesai dibahas di DPR (setahu saya sudah dimasukkan sejak tahun 2005), maka bagaimana syarat subjektif dan syarat objektif lebih baik menunggu perubahan terakhir UU PPh 1984. Jadi kita langsung saja ke syarat-syarat memperoleh NPWP.
1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan:
Fotocopy KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
3. Untuk WP Badan:
Fotocopy akte pendirian;
Fotocopy KTP salah seorang pengurus;
Fotocopy Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang.
4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
Fotocopy surat penunjukan sebagai bendaharawan;
Fotocopy tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
5. Apabila WP pemohon berstatus cabang:
Fotocopy kartu NPWP atau Bukti Pendaftaran WP Kantor Pusatnya.
[sumber : Buku Informasi Perpajakan 2004]
Selain syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, pendaftar juga harus mengisi formulir yang telah disediakan. Bagi pendaftar yang langsung datang ke KPP, formulir yang diperlukan bisa diminta langsung ke KPP. Dan formulir tersebut “wajib gratis”. Formulir tersebut diisi dan ditandatangani oleh pendaftar. Jika pendaftar orang lain, kuasa atas nama orang lain, maka harus ada surat kuasa dari orang yang dimaksud. Formulir dan syarat-syaratnya akan diteliti saat diterim oleh petugas di KPP. Jika telah lengkap, maka akan diproses lebih lanjut. Sehari kemudian (jika tidak ada gangguan teknis seperti listrik mati), kartu NPWP sudah bisa didapatkan [lihat SOP].
Istilah Usahawan
Wajib Pajak Orang Pribadi non-usahawan adalah Wajib Pajak karyawan yang akan mendaftarkan diri. Istilah usahawan tidak hanya diperuntukan bagi mereka yang memiliki penghasilan besar saja. Orang pribadi yang memiliki kios, warung, atau bahkan pedagang lapak sekalipun bisa disebut usahawan. Seorang usahawan adalah seorang yang independen. Istilah lain yang sejenis dengan usahawan adalah majikan, dan pengusaha.
Wajib Pajak Orang Pribadi terbagi dua, yaitu karyawan dan majikan. Karyawan adalah orang yang bekerja pada orang lain. Penghasilannya biasa disebut gaji atau upah. Atas penghasilan ini, sekarang, wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun oleh majikan telah dipotong dan dilaporkan. Jika kita hanya memiliki satu pemberi kerja, satu majikan, maka kita tidak perlu khawatir karena kewajiban perpajakan kita hanya membuat SPT, sedangkan kewajiban membayar PPh sudah “didelegasikan” kepada majikan. Jika ada kekurangan pembayaran, kewajiban ada dipihak majikan.
Tetapi jika kita memili dua sumber penghasilan, dua majikan, satu majikan tetapi nyambi usaha kecil-kecilan, atau satu majikan tetapi suami dan istri bekerja, maka pasti akan ada kekurangan pajak penghasilan yang harus kita bayar pada akhir tahun. Dengan demikian, kewajiban kita lain selain membuat SPT.
Tanda Garis Miring ( / )
Garis miring pada persyaratan “KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor” diatas bisa diartikan sebagai “atau”. Artinya, persyaratan untuk mendapatkan NPWP bisa dengan hanya fotokopi KTP, hanya dengan fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi SIM atau hanya dengan fotokopi Paspor. Yang terakhir mungkin bagi NPWP warga negara asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari.
Surat Izin Usaha
Tidak perlu dipusingkan dengan persyaratan “Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi yang berwenang”. Jika memang tidak punya surat ijin, lebih baik bikin surat pernyataan saja bahwa pendaftar belum memiliki surat ijin dari Pemda setempat. Tetapi jika petugasnya ngotot mengharuskan adanya surat ijin, bisa dibikin dari surat keterangan dari Desa atau Lurah. Ketentuan instansi yang berwenang tidak bisa dipastikan. Bisa perdagangan, dinas perindustrian, dinas pariwisata, atau dinas pertambahan. Bahkan bisa pula dari keluarahan.
Pengurus WP Badan
Pengurus WP Badan bisa komisaris, presiden direktur, direktur, ketua, pesero aktif, anggota firma, atau istilah lain yang digunakan oleh pendaftar. Pengurus ini adalah orang yang bertanggung jawab bagi kewajiban perpajakan, baik langsung atau tidak langsung. Walaupun tidak memiliki jabatan dalam badan tersebut, tetapi seseorang bisa disebut pengurus jika mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan/badan.
Khusus untuk pemegang saham, walaupun sedikit, ada kewajiban memiliki NPWP. Siapapun yang memiliki saham atas perusahan yang aktif, wajib memiliki NPWP. Karena itu, bagi pengurus yang pemegang saham, bisa sekaligus minta NPWP pemegang saham.
 
 

NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Ini pengertian resmi yang diberikan oleh undang-undang. Lebih ringkasnya, menurut saya, NPWP adalah identitas Wajib Pajak. NPWP harus dibuat unik, tidak ada yang sama untuk subjek pajak (orang) yang berbeda. Nama boleh sama, dan memang banyak yang sama, tetapi memiliki NPWP yang berbeda-beda.
Banyak yang mempertanyakan fungsi dan manfaat NPWP. Berikut ini adalah fungsi NPWP, setidaknya dilihat dari sisi administrasi pajak :
1. Untuk mengetahui identitas Wajib Pajak;
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan;
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
4. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal: Dokumen Impor (PPUD, PIUD).
Jika mau diringkas, sebenarnya fungsi dari NPWP ada dua, yaitu : identitas Wajib Pajak dan media pengawasan kewajiban perpajakan. Kecuali nomor 2, nomor 1 sampai dengan nomor 5 diatas lebih dekat ke fungsi identitas. Contoh, kita membuat laporan perpajakan (SPT), maka NPWP akan mempertegas siapa pembuat SPT. Saat kita bayar pajak (SSP), akan jelas siapa pembayar pajak tersebut. Kita bayar PPh Pasal 22 impor dan PPN impor, atas nama siapa pajak tersebut, akan diakui sesuai dengan NPWP yang dicantumkan. Begitu juga ketika kita pergi ke luar negeri dan bayar Fiskal Luar Negeri, maka Fiskal Luar Negeri tersebut hanya dapat dikreditkan oleh orang yang sama NPWP-nya.
Sedangkan fungsi pengawasan bisa dilihat dua sisi. Sisi pertama, pengawasan dari Wajib Pajak, pembayar pajak. Jika kita telah membayar pajak, maka kita mesti tahu berapa pajak yang telah dibayar ke Kas Negara. Berapa kontribusi kita kepada negara.
Jika kita karyawan, NPWP ini akan sangat berguna. Dengan memiliki NPWP, kita memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Disatu sisi, memang memberatkan, merepotkan bagi Wajib Pajak. Apalagi bagi Wajib Pajak awam terhadap perpajakan. Tetapi, sisi positifnya, Wajib Pajak bisa mengawasi pajak penghasilan (PPh) yang telah dipotong oleh pemberi kerja (majikan). Kita harus meminta bukti potong, berapa PPh yang telah dipotong dalam satu tahun. Kemudian kita, cocokkan kebenarannya.
Prakteknya, saya sering menemukan laporan SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang dipegang oleh majikan dibuat “RAHASIA”. SPT tersebut hanya dipegang oleh boss dan karyawan (walaupun petugas yang disuruh) dilarang membaca. Naluri pemeriksa langsung mempertanyakan kebenaran besarnya gaji dan potongan PPh yang ada di SPT dan sebenarnya yang diterima oleh karyawan.
Salah satu trik untuk memperkecil atau menghindari kewajiban memotong PPh Pasal 21 adalah dengan “menyebarkan” penghasilan kepada karyawan kecil. Contohnya: direktur yang memiliki penghasilan Rp.100 juta dipangkas hanya menjadi Rp.40 juta saja. Kemana yang Rp.60 juta? Bisa disebar ke beberapa karyawan, misalnya dibagi rata ke 6 orang karyawan, masing-masing Rp.10 juta. Tetapi, karena karyawan tersebut memiliki penghasilan kecil, misalnya Rp 10 juta saja, maka ketika ditambahkan Rp 10 juta lagi, maka akan terkena tarif kecil. Artinya, trik ini dimaksudkan untuk menghindari tarif tinggi, sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong kecil.
Majikan akan berpikir ulang untuk mengulang praktek seperti diatas jika karyawan meminta bukti potong (form 1721 – A1) untuk mengisi SPT Orang Pribadi karena memiliki NPWP. Bukti potong yang diminta oleh karyawan harus sama dengan yang dilaporkan ke KPP di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Artinya, karyawan dapat mengawasi berapa penghasilan dan PPh Pasal 21 yang dilaporkan ke KPP dan yang benar-benar yang diterima.

Manfaat NPWP
Manfaat memiliki NPWP yang sering dirasakan oleh Wajib Pajak adalah syarat kredit bank. Biasanya, jika kita meminjam uang Rp. 50 juta keatas, bank mencantumkan persyaratan NPWP. Nasabah wajib memiliki NPWP jika kreditnya mau cair.
Bagi negara-negara maju, isu perpajakan sering muncul di perpolitikan, terutama pada saat kampanye. Hal ini karena, “rasa kebanggaan” membayar pajak sudah lama ditumbuhkan. Para pembayar pajak besar sering menuntut beberapa fasilitas lebih dari negara karena kontribusi mereka terhadap pendapatan negara. Dan kontribusi kita hanya bisa dihitung pada saat membuat SPT dan melaporkannya pada kantor pajak.
Karena banyak pajak yang dipotong melalui fihak lain (withholding tax) maka Wajib Pajak sering tidak menyadari, berapa pajak yang sudah dibayar. Berbeda dengan pajak yang dibayar langsung setiap bulan, PPh Pasal 25, withholding tax sering terlupakan karena tidak terasa berat. Pada saat membuat SPT, semua pajak yang telah dibayar, baik melalui fihak lain (PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23) maupun dibayar sendiri (PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29) akan dihitung, dan dijumlahkan sehingga jelas berapa pajak yang sebenarnya telah kita bayar.
Seharusnya, membayar pajak merupakan kebanggaan warga negara karena merupakan kontribusi kita kepada negara. Undang-undang dengan jelas menyebutkan [Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007], “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ini semacam pengakuan resmi dari negara.
Mungkin jika istilah Wajib Pajak diganti dengan istilah “kontributor keperluan negara” nuansanya akan beda dan akan menumbuhkan rasa kebanggaan!

Sunday, March 20, 2011

Pembayar Pajak Patriot Bangsa

Catatan Dony Patikawa di http://ekonomi.kompasiana.com/


Akhir-akhir ini sensitif rasanya membicarakan masalah PAJAK , geram rasanya mendengar kata PAJAK, tetapi apa jadinya ya kalau negara ini tanpa pajak? mau terlilit hutang dengan lembaga internasional yang terlihat ramah tetapi sebenarnya menginjak-injak? Atau mau menguras sumber daya alam yang kita pun sebenarnya sudah mulai mengimpornya dari negara lain?

ada ungkapan yang sangat terkenal yang dilontarkan oleh Jhon F Kennedy, “Jangan pernah tanyakan apa yang bisa diberikan negaramu padamu, tapi tanyakan apa bisa kamu berikan untuk negaramu”. Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam, didalamnya mengandung nilai-nilai patriotik yaitu nilai-nilai rela berkorban untuk bangsa dan negara.
Jaman dulu, baik saat perang melawan penjajahan maupun perang kemerdekaan, sifat patriotik ini gampang kita lihat, para pahlawan itu dengan gagah berani, rela mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan bangsanya. Rakyat saat itu bahu membahu membangun kekuatan untuk mengusir penjajah karena tidak rela harga diri bangsanya bangsanya diinjak-injak. Ada yang bertempur meski hanya bersenjatakan bambu runcing, ada yang menjadi tenaga medis, ada yang membantu di dapur umum, ada juga yang menyumbangkan apa saja yang mereka punya untuk membantu perjuangan. Sejatinya mereka semua berkorban demi kedaulatan bangsanya.
Di jaman kemerdekaan sekarang ini, masih bisakah kita menjadi patriot bangsa ? jawabannya BISA. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membela bangsa dan negara, salah satunya adalah membayar pajak. Dalam membayar pajak terkandung nilai patriotik yaitu kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Apa yang dikorbankan ? Harta kita. Kita keluarkan lagi harta kita dengan cara membayar pajak untuk berkontribusi membiayai kebutuhan bangsa dan negara dengan harapan bangsa ini bisa makmur dengan biaya sendiri tanpa hutang yang malah menurunkan martabat bangsa.
Bagaimana caranya ?
Tahapan paling awal adalah dengan membuat NPWP bagi masyarakat orang pribadi yang telah memenuhi syarat. NPWP ini adalah identitas atau tanda pengenal diri bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Cara mendapatkannya mudah, tinggal datang aja ke Kantor Pajak terdekat dengan hanya melampirkan fotokopi KTP tanpa dipungut biaya sepeserpun. Sekarang malah sudah bisa mendaftar NPWP lewat internet (e-registration) melalui website resmi Ditjen Pajak dengan alamat www.pajak.go.id
Tahapan berikutnya adalah mengisi dan menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan Orang Pribadi setiap tahun yang paling lambat disampaikan akhir bulan ketiga tahun berikutnya. Misalnya untuk tahun 2010 paling lambat disampaikan tanggal 31 Maret 2011. SPT ini berfungsi untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek atau bukan obyek, melaporkan harta dan kewajiban sesuai dengan prinsip self assessment.
Mengisi SPT Tahunan itu mudah karena Formulirnya sudah dibuat sesederhana mungkin disertai dengan petunjuk pengisian yang mudah dipahami. Formulir SPT Tahunan untuk orang pribadi ada tiga jenis, yaitu:
1. Formulir 1770SS : untuk orang pribadi yang tidak menjalankan pekerjaan bebas yang penghasilannya tidak melebihi Rp.60.000.000 setahun
2. Formulir 1770S : untuk orang pribadi yang tidak mempunyai usaha dan tidak menjalankan pekerjaan bebas.
3. Formulir 1770 : untuk orang pribadi yang mempunyai usaha dan/atau menjalankan pekerjaan bebas.
Formulir SPT Tahunan tidak dikirimkan ke alamat masing-masing, Wajib Pajak harus mengambilnya sendiri di Kantor Pajak terdekat atau bisa mengunduh di www.pajak.go.id
Apabila hasil pengisian SPT Tahunan menunjukan ada pajak yang masih harus dibayar, Wajib Pajak harus membayarnya terlebih dahulu ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Formulir Surat Setoran Pajak (SSP) sebelum menyampaikan SPT Tahunan ke kantor pajak. Ingat, pembayaran pajak hanya dilakukan di Bank Persepsi atau Kantor Pos, bukan di Kantor Pajak. Kantor Pajak tidak menerima pembayaran pajak.
Setelah melakukan pembayaran pajak, SSP sebagai bukti pembayaran pajak dilampirkan dalam SPT Tahunan dan SPT Tahunan siap disampaikan ke Kantor Pajak. Apabila hasil pengisian menyatakan tidak ada pajak yang harus dibayarkan alias NIHIL, maka SPT Tahunan bisa langsung disampaikan ke Kantor Pajak. SPT bisa disampaikan di Kantor Pajak mana saja yang paling dekat atau paling nyaman buat Wajib Pajak, bahkan sekarang ini SPT bisa disampaikan di DROP BOX.
DROP BOX merupakan terobosan pelayanan, DJP melakukan jemput bola ke tempat WP agar WP lebih mudah menyampaikan SPT. Lokasinya bisa di komplek perkantoran, di mall, di pasar atau ditempat keramaian lainnya.
Ayo segera kita mengisi SPT Tahunan kita, sebagai bukti bahwa kita sudah peduli pada bangsa sendiri. Jangan lupa juga kita harus ikut serta mengawasi pengelolaan dan penggunaan uang pajak yang sudah kita bayarkan demi kejayaan bangsa dan negara kita.
MERDEKA…

Keberatan Pajak

Catatan Akang Jamal di www.ekonomi/kompasiana.com


If you disagree with certain Tax Office decisions, the law gives you the right to object and have the decision reviewed. Decisions you can object against include assessments, amended assessments and some private rulings……….
Keberatan pajak (tax objection) adalah “hak” Wajib Pajak yang diatur oleh Undang-Undang perpajakan yang berlaku di hampir seluruh Negara yang demokratis, terutama yang sistem perpajakannya menganut self assessment system. Wajib Pajak akan mengajukan keberatan manakala tidak puas atau kurang puas terhadap suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya.
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); c. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); atau e. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Sebagaimana dikemukakan di atas, manakala tidak puas atau kurang puas terhadap suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan. Ini berati apabila Wajib Pajak “berpendapat” bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, atau jumlah pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat (berhak) untuk mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Atau dengan kata lain, adalah hak para Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak ataupun pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
Dalam mengajukan keberatannya Wajib Pajak mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. Yang dimaksud dengan alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan atau bukti pemotongan yang diajukan keberatan.
Pengajuan keberatan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana wajib pajak terdaftar. Penanganan mengenai pengajuan keberatan Wajib Pajak dilaksanakan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak.
Selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima (oleh Kantor Pelayanan Pajak), Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak. Kemudian sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.
Dengan demikian ada kepastian hukum bagi Wajib Pajak yaitu jika dalam jangka waktu 12 bulan Wajib Pajak tidak menerima keputusan atas keberatan yang diajukannya maka keberatan Wajib Pajak harus diterima. Dan, adalah “legal” adanya bahwa keputusan Direktur Jenderal Pajak terhadap pengajuan keberatan bisa berupa: mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang harus dibayar.
Semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman tentang keberatan pajak.